REVIEW - Cinta Brontosaurus
2013,
3 stars,
april,
arul movie review blog,
Cinta Brontosaurus,
Eriska Rein,
Fajar Nugros,
film indonesia,
Indonesia,
movie review,
Raditya Dika,
Review Film
Raditya Dika novelis terkenal yang juga buku-bukunya bisa dikategorikan best seller. Buku-buku nya mengambil genre komedi tentang dirinya. Dia pun mempunyai fans yang cukup banyak karena buku-buku nya yang cukup membuat tertawa. Setelah buku pertamanya Kambing Jantan di angkat menjadi sebuah Film. Kali ini, giliran buku kedua miliknya. Cinta Brontosaurus pun diangkat ke layar lebar dan digarap oleh Fajar Nugros dan naskah langsung yang ditulis oleh Raditya Dika.
Di film kedua nya ini diambil dari cerita-cerita yang tersusun di bukunya yang kedua. Menceritakan bagaimana seorang Raditya Dika mengalami berbagai kegagalan cinta di banyak wanita. Hingga suatu hari dia berfikir bahwa dia sudah berhenti untuk jatuh cinta dan memilki pakem bahwa Cinta itu bisa kadalursa. Suatu hari di suatu kafe, dia bertemu dengan sesosok wanita yang Raditya Dika anggap berbeda bernama Jessica (Eriska Rein). Tak lama kenal mereka pun semakin dekat dan akhirnya mereka pun jadian. Banyak sekali lika-liku yang dialami oleh Raditya Dika. Tak hanya persoalan cinta nya dengan Jessica yang semakin lama semakin memburuk. Tetapi juga masalah nya dengan agen atau manajer nya bernama Kosasih (Soleh Solihun) mengenai buku milik Raditya Dika.
Hilarious in the First 45 Minutes and the next 45 Minutes it goes weak and has slow pace story.
Raditya Dika adalah seorang penulis buku komedi awalnya. Berawal mula dari blog nya yang mempunyai banyak pengunjung dan followers. Menceritakan tentang kehidupannya yang serba kocak. Akhirnya buku berjudul Kambing Jantan pun keluar dan menarik banyak orang untuk membeli dan membacanya. Serta sutradara sekelas Rudi Soedjarwo pun berani mengangkat buku dengan gaya penulisan seperti diary itu menjadi sebuah film. Film pertamanya bisa dibilang gagal menampilkan komedi renyah tak seperti bukunya yang sukses membuat pembacanya tertawa terbahak-bahak. Konsentrasi Kambing Jantan pun hanya terfokus pada drama percintaannya yang kurang digali sisi komedinya.
Kali ini, diambil dari buku kedua-nya. Format buku kedua-nya lebih seperti kumpulan cerita pendek yang disatukan menjadi buku. Fajar Nugros pun kali ini menangani adaptasi buku kedua milik Raditya Dika ini. Naskah pun ditulis langsung Raditya Dika. Saya adalah pembaca semua seri buku Raditya Dika. Buku Cinta Brontosaurus adalah buku paling tipis dan paling lemah karya Raditya Dika. Hingga sebuah keputusan untuk mengangkatnya ke layar lebar sebenarnya sudah membuat saya ragu. Dengan perubahan sutradara dari Rudi Soedjarwo ke Fajar Nugros pun setidaknya bisa memberikan harapan baru. Surprisingly, Paruh awal film ini sukses membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak dengan berbagai komedi nya yang sangat anak muda sekali dan jelas memang bidikan pasarnya adalah Remaja. Hingga akhirnya kekuatan yang sudah dibangun diawal tak lagi bisa dikeluarkan di film ini di pertengahan hingga akhir film.
Kekuatannya sudah dikerahkan semua diawal hingga untuk selanjutnya sepertinya kekuatan film ini sudah mulai sirna sedikit demi sedikit hingga akhirnya hilang tak bersisa. Tak menaruh ekspektasi yang besar memang. Tetapi setelah pengawalan yang dihantarkan cukup baik tak salahnya saya pun menaruh ekpektasi yang sedikit tinggi untuk kelanjutannya. Dengan secara tiba-tiba, semua unsur hilarious di film ini hilang. Pace cerita melambat dan membuat saya sebagai penontonnya menguap beberapa kali. Naskah milik Raditya Dika seperti kehilangan kefokusannya. Dengan durasi sepanjang 90 menit ini pun sepertinya Naskah kurang bisa dikembangkan lagi meski berbagai cerita masih bisa dikembangkan.
Kali ini, diambil dari buku kedua-nya. Format buku kedua-nya lebih seperti kumpulan cerita pendek yang disatukan menjadi buku. Fajar Nugros pun kali ini menangani adaptasi buku kedua milik Raditya Dika ini. Naskah pun ditulis langsung Raditya Dika. Saya adalah pembaca semua seri buku Raditya Dika. Buku Cinta Brontosaurus adalah buku paling tipis dan paling lemah karya Raditya Dika. Hingga sebuah keputusan untuk mengangkatnya ke layar lebar sebenarnya sudah membuat saya ragu. Dengan perubahan sutradara dari Rudi Soedjarwo ke Fajar Nugros pun setidaknya bisa memberikan harapan baru. Surprisingly, Paruh awal film ini sukses membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak dengan berbagai komedi nya yang sangat anak muda sekali dan jelas memang bidikan pasarnya adalah Remaja. Hingga akhirnya kekuatan yang sudah dibangun diawal tak lagi bisa dikeluarkan di film ini di pertengahan hingga akhir film.
Kekuatannya sudah dikerahkan semua diawal hingga untuk selanjutnya sepertinya kekuatan film ini sudah mulai sirna sedikit demi sedikit hingga akhirnya hilang tak bersisa. Tak menaruh ekspektasi yang besar memang. Tetapi setelah pengawalan yang dihantarkan cukup baik tak salahnya saya pun menaruh ekpektasi yang sedikit tinggi untuk kelanjutannya. Dengan secara tiba-tiba, semua unsur hilarious di film ini hilang. Pace cerita melambat dan membuat saya sebagai penontonnya menguap beberapa kali. Naskah milik Raditya Dika seperti kehilangan kefokusannya. Dengan durasi sepanjang 90 menit ini pun sepertinya Naskah kurang bisa dikembangkan lagi meski berbagai cerita masih bisa dikembangkan.
At least, the comedy still compatible in the pop culture even it still has some weakness in every part.
Naskah milik Raditya Dika ini pun bisa dibilang berhasil dan juga bisa dibilang gagal. Berhasil karena mampu menyajikan berbagai cerita kegagalan cinta dengan kemasan yang sangat anak muda sekali dengan berbagai joke-joke yang tersebar di setiap scene-nya yang mampu membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak, melihat berbagai pencerminan kegagalan cinta yang mungkin bagi kaum remaja (seperti saya) relevan dengan berbagai kegagalan cinta yang ada di dunia nyata. Komedinya satir menyindir berbagai Produser Film Indonesia yang hanya mementingkan uang dan mengeksploitasi berbagai film hantu-hantuan yang cukup membuat penikmat film gusar dengan kualitasnya yang jelas-jelas kurang.
Fajar nugros pun masih menggunakan imajinasinya saat menampilkan cerita dengan mem-visualisasi-kan berbagai peng-analogi-an narasi cerita yang dihantarkan di film ini. Beberapa quote kocak serta puitis yang juga bisa diterima oleh penontonnya. Serta dibilang gagal karena Naskah nya masih lemah di paruh tengah hingga akhir filmnya. Kefokusan cerita hilang, komedi-komedi nya pun juga semakin bertambahnya durasi semakin hilang. Penceritaannya terlihat mulai kacau di beberapa penceritaannya hingga akhirnya semua hilang tak bersisa dan muncul kembali sebuah harapan di adegan akhir film yang cukup menghibur. Konflik cerita yang ditarik-ulur serta membuat penontonnya lelah untuk mengikuti film ini hingga akhir.
Fajar nugros pun masih menggunakan imajinasinya saat menampilkan cerita dengan mem-visualisasi-kan berbagai peng-analogi-an narasi cerita yang dihantarkan di film ini. Beberapa quote kocak serta puitis yang juga bisa diterima oleh penontonnya. Serta dibilang gagal karena Naskah nya masih lemah di paruh tengah hingga akhir filmnya. Kefokusan cerita hilang, komedi-komedi nya pun juga semakin bertambahnya durasi semakin hilang. Penceritaannya terlihat mulai kacau di beberapa penceritaannya hingga akhirnya semua hilang tak bersisa dan muncul kembali sebuah harapan di adegan akhir film yang cukup menghibur. Konflik cerita yang ditarik-ulur serta membuat penontonnya lelah untuk mengikuti film ini hingga akhir.
Fajar Nugros, Sutradara dari Queen Bee (yang surprisingly filmnya menghibur) dan Cinta Di Saku Celana ini pun sudah berusaha keras untuk mengarahkan film ini. Meski beberapa aspek film ini kurang tertangani dengan baik.Tak ada yang spesial dari segi cast nya. Karena memang film dengan cerita seperti ini tak seberapa membutuhkan akting yang terlalu dominan. Semua pemainnya bermain alami, apa adanya dan casual layaknya kehidupan biasa. Tetapi entah kenapa, berbagai scene-nya yang membosankan di paruh akhir itu setidaknya masih menghibur jika bisa menatap muka si penulis Raditya Dika.
Raditya Dika berperan sebagai dirinya satu tingkatan lebih tinggi ketimbang saat dia bermain di film pertamanya. Act ability dia sudah mulai bertambah. Wajahnya yang komikal justru membuat saya tertawa geli. Wajahnya sangat ikonik dengan berbagai ekpresi muka datar yang bisa mengundang tawa. Terkadang dia memasang ekspresi dengan wajah datar dengan mulut menganga lebar yang cukup berhasil mengundang tawa ditengah-tengah kekuatan film yang pudar. Eriska Rein yang sweet dan lovable ini bermain casual dan setidaknya berbagai adegan sweet dengan Raditya Dika pun masih bisa terjalin bagus dan membuat senyum penontonnya. Soleh Solihun sebagai Kosasih juga memberikan kekuatannya sendiri. Dirinya memberikan warna sendiri di film ini hingga akhirnya memberikan penambahan unsur komedi yang kental di film ini.
Overall, Cinta Brontosaurus better from Kambing Jantan. The first 45 minutes surprisingly entertaining and make the audience laugh. But, the weakness come from the next 45 minutes. Slow-paced story make me as audience tired when I watch this movie. The story about Love can be expired still make me Fun and enjoy. For Teenagers, This is your show. Just Enjoy it.