TRANSCENDENCE (2014) REVIEW : THE WRONG DEBUT INTELLIGENCE WAS CREATED
2 stars,
2014,
april,
arul fittron,
arul movie review blog,
Johnny Depp,
Kate Mara,
Rebecca Hall,
Transcendence,
Transcendence Review,
Wally Pfister
Premis adalah satu hal penting yang harus diperhatikan saat membuat film. Pada pra produksi, satu premis menarik harus bisa ditemukan barulah premis itu dikembangkan lebih jauh lagi. Pada proses pengembangan ini adalah satu peristiwa krusial, bagaimana akhirnya para awak film menyajikan premis ini. Bisa jadi premis menarik itu akan jatuh menjadi presentasi yang buruk ataupun bisa malah melejit menjadi karya yang sangat segar.
Di dalam genre science fictionsendiri, banyak sekali premis-premis menarik yang bisa diangkat. Banyak yang menarik perhatian tetapi juga tidak sedikit yang akhirnya menjadi bulan-bulanan para kritikus dan juga pecinta film. Premis dalam film science fiction memang banyak yang sudah diangkat oleh para sineas dari yang penuh petualangan hingga drama romantis menyentuh hati. Para sineas pun harus pintar dalam mengangkat satu premis cerita yang menarik pada sub genre ini. Meskipun premis yang diinginkan sudah banyak diangkat, tetapi sekali lagi itu tergantung dari bagaimana sang sineas untuk mengemasnya.
Premis menarik kali ini datang dari film science fiction garapan Wally Pfister. Film perdana milik Wally Pfister dengan judul Transcendence ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang sama-sama seorang pakar ilmiah, Dr. Will Caster (Johnny Depp) dan Evelyn (Rebecca Hall). Sang suami, Will merencanakan untuk menjalankan proyek transendensi untuk umat manusia. Membuat manusia akan lebih hebat daripada sebelumnya.
Tetapi usaha yang akan dilakukan oleh Dr. Will Caster ini mengundang kontroversi dan menyebabkan Dr. Will Caster ditembak oleh peluru yang terisi radiasi. Dengan bantuan sang istri dan temannya, Max (Paul Bettany) segala data yang ada di dalam otak dan tubuh Will dipindahkan ke sebuah piranti lunak. Tetapi, hal ini malah menyebabkan keadaan dunia tidak seimbang dan mengancam kelangsungan kehidupan manusia yang hakiki.
Interesting plot does not mean it will be good then.
Seperti yang sudah dituliskan, premis menarik bukan berarti film yang ada akan menjadi film yang juga menarik. Hal itu terjadi pada film perdana garapan Wally Pfister ini. Premis menarik miliknya tak bisa dikemas dengan begitu menarik agar penonton bisa betah untuk menyaksikan film miliknya. Transcendence memiliki 115 menit yang artinya masih memiliki ruang yang begitu luas untuk mengolah dan menggali lebih dalam lagi intrik yang sebenarnya menarik di dalam film Transcendence ini.
Tetapi semacam banyak terjadi kesalahan di dalam proses produksinya, di mana Transcendence tak ubahnya adalah film science fiction dengan premis menarik yang sia-sia. Kesalahan awal terjadi bagaimana cerita di dalam film ini terlihat begitu kacau. Transisi setiap adegan di film ini terasa begitu kasar dengan penjelasan yang begitu kurang. Membuat para penonton meraba-raba sendiri apa masalah yang terjadi di film ini. Pertanyaan-pertanyaan yang disebarkan kepada penontonnya di dalam film ini seperti tidak dijawab oleh sang sutradara.
Penanganan oleh sang sutradara terlihat sangat begitu kurang. Terlebih film ini memiliki banyak sekali lubang-lubang cerita yang sengaja dibiarkan menganga begitu besar di dalamnya. Apa yang terjadi dengan 115 menit film ini? ketika masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan besar yang masih menjadi tanggungan untuk dijawab. Menjadikan 115 menit yang memberikan ruang yang begitu besar agar menjadi film yang baik itu terbuang dengan sia-sia. Toh, banyak sekali yang dibahas oleh Transcendence tetapi bagaimana Wally Pfister tak bisa memanfaatkan segala yang menjadi pertanyaan itu dalam 115 menit yang panjang dan alhasil, film ini malah jatuh ke slow pace yang menjemukan.
Perjalanan narasi film ini begitu tertatih dari skenario milik Jack Paglen. Seperti banyak sekali hal-hal yang diskip dan penceritaan yang lompat dari satu scene ke yang lain yang tidak rapi yang tentu menganggu perjalanan film ini. 115 menit durasi benar-benar tidak dimanfaatkan oleh sang sutradara hingga film ini berakhir dengan penceritaan yang tidak efektif. Begitu terasa bagaimana cerita yang dragging serta terasa tertarik ulur dan itu bukanlah hal yang baik dalam sebuah film.
Dengan banyak karakter penting di film ini sebagai kelangsungan intriknya, tetapi sekali lagi durasi itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Karakter-karakter yang harusnya masih perlu disokong dengan cerita yang lebih kuat lagi malah tidak tertangani. 115 Menit itu benar-benar ditujukan kepada Dr. Will dan Evelyn yang terasa ter-ekspos berlebihan. Karena karakter lain hanya seperti sebagai penyesak layar dan masih kurang mengerti kegunaan karakter tersebut dalam jalannya film ini.
Memang, Transcendence memberikan satu kontemplasi bagi penontonnya terlebih pada teknologi yang sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer seluruh manusia di dunia. Masih ada poin yang baik untuk dijadikan renungan bahwa tak semua inovasi atau semakin canggihnya suatu teknologi akan selamanya memberikan efek positif bagi semua orang. Pasti ada salah satu hal yang harus dikorbankan dan itu akan menginvasi kehidupan manusia yang seharusnya.
Well, dengan adanya satu poin plus dalam film bukan berarti menyelamatkan film secara keseluruhan. Mungkin poin plus lainnya ada pada sinar bintang milik Johnny Depp. Tetapi, tak ada yang spesial dari penampilan miliknya. Begitupun dengan ikatan yang terjalin dengan Rebecca Hall, tidak ada satu rasa emosional yang signifikan akan dirasakan oleh penontonnya. Berjalan tidak terlalu hambar tetapi masih terasa kurang ‘bumbu’.
Overall, Transcendence adalah satu film science fiction dengan premis menarik yang tidak tertangani dengan baik. Segala hal di film ini masih terasa begitu mentah dengan cerita yang masih jumpy, narasi yang terbatas, serta pace yang terasa tertarik-ulur. Masih memberikan pelajaran hidup yang berarti serta kekuatan pada nama Johnny Depp tetapi itu saja masih tidak cukup untuk menyelamatkan film ini. Debut milik Wally Pfister yang gagal.