SURGA YANG TAK DIRINDUKAN REVIEW : Dongeng Islami Yang Naif
Reviw Dongeng Islam Yang Naif
Bertepatan dengan Lebaran, rumah produksi di Indonesia berlomba-lomba untuk menyajikan film-film terbaru mereka. Dengan catatan, di dalam musim libur lebaran, mereka dapat mendapatkan jumlah penonton yang fantastis. Banyaknya rumah produksi yang merilis film mereka di musim lebaran membuat penonton lokal memiliki alternatif tontonan yang beragam untuk disantap saat musim libur lebaran tiba.
Dengan tahu adanya peluang untuk mendapat keuntungan, rumah-rumah produksi tersebut merilis filmnya dengan genre yang bervariasi. Dan salah satu tema yang selalu ada di film-film libur lebaran adalah film bertema religi. Dan kali ini, giliran MD Pictures untuk merilis sebuah film religi yang diarahkan oleh Kuntz Agus. Diadaptasi dari salah satu buku dari penulis terkenal, Asma Nadia, Surga Yang Tak Dirindukan menjanjikan sesuatu yang haru biru.
Dibintangi oleh Fedi Nuril, Laudya Cynthia Bella, dan Raline Shah menjadi faktor utama bahwa film ini setidaknya menjanjikan aktor aktris yang memanjakan penontonnya lewat paras mereka. Surga Yang Tak Dirindukan pun diharapkan dapat menarik penonton –khususnya wanita paruh baya berhijab –agar menyaksikan drama cinta dilematis dengan sokongan ayat-ayat suci di dalam presentasinya. Mengangkat sebuah kisah cinta yang terlalu bermimpi, setidaknya Kuntz Agus masih tahu mengarahkan filmnya agar tak terlalu basi.
Kembali lagi, sebuah kisah cinta poligami yang dibintangi oleh Fedi Nuril. Pras (Fedi Nuril), lelaki yang sedang menyelesaikan sebuah tugas akhir ini tiba-tiba jatuh cinta terhadap sosok gadis lugu berhijab bernama Arini (Laudya Cynthia Bella). Arini adalah seorang wanita yang senang mendongeng di sebuah surau di Jogja. Berawal dari saling tukar nomer telepon, mereka saling kontak satu sama lain. Sehingga, mereka berdua merasa cocok dan akhirnya memutuskan untuk menikah.
Pernikahan Pras dan Arini pun membuahkan seorang putri bernama Nadia. Kehidupan pernikahan Arini dan Pras sangat bahagia layaknya sebuah dongeng yang diidamkan oleh Arini. Hingga suatu ketika, kehidupan pernikahan mereka berubah. Pras menemukan seseorang bernama Meirose (Raline Shah) yang sedang putus asa dan ingin bunuh diri karena gagal menikah dengan kekasihnya. Upayanya dicegah oleh Pras dengan janji akan menikahi Meirose yang bermaksud beritikad baik. Pras menyembunyikan pernikahannya dengan Meirose dan suatu ketika Arini mengetahui hal tersebut.
Surga Yang Tak Dirindukan jelas tak bisa jauh dalam mengeksploitasi tangis haru biru agar mampu menguras air mata penontonnya, khususnya penonton wanita. Dan juga, eksploitasi pernikahan poligami dengan sokongan hadits-hadits dan juga ayat suci Al-Qur’an supaya konflik tersebut masih memiliki pondasi ajaran islam sehingga tak melenceng. Hanya saja, dengan adanya dasar dari ajaran suatu kepercayaan tak lantas membuat film ini jauh dari kesan naif.
Tak ada yang salah dengan hasil kerja dari Kuntz Agus dalam mengadaptasi novel dari Asma Nadia. Dengan jalan cerita yang terlalu naif dan bahkan cenderung memiliki masalah yang klasik, Surga Yang Tak Dirindukan masih memiliki pengarahan yang baik dari Kuntz Agus. Sehingga, problematika rumah tangga milik Pras dan Arini masih memiliki irama yang tepat di dalam presentasi. Penonton akan masih mudah menikmati hasil arahan dari Kuntz Agus.
Hanya saja, mungkin ada kesalahan dari sumber yang diadaptasi dari Kuntz Agus. Sumber asli yang ditulis langsung oleh Asma Nadia di dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan. Konflik-konflik yang dihadirkan tak ingin mencari penggambaran yang berbeda tentang konflik rumah tangga beristri tiga. Penggambaran karakter lelaki yang sholeh dan –tak tahu disengaja atau tidak –kembali diperankan oleh Fedi Nuril ini pun masih terkesan stereotip. Mengatasnamakan kelemahan wanita untuk sekali lagi merajut hubungan sah dengan wanita tersebut pun terkesan tak wajar. Apa lagi alasan yang terkesan mengada-ada membuat konflik Surga Yang Tak Dirindukan menjadi nyeleneh.
Entah, apakah konflik-konflik seperti ini yang diidam-idamkan oleh para penonton, terutama wanita paruh baya berhijab, sebagai target pangsa pasar mereka. Menyaksikan sebuah film sebagai medium hiburan, tentu perlu memiliki referensi dan pengalaman yang sama agar penonton bisa memiliki keterikatan dengan karakternya. Pun rasanya terasa tak relevan, jika sang pangsa utama film ini memiliki keterikatan yang sama dengan konfliknya. Hanya saja, ada atribut ‘hijab’ yang dipasang dan simbol tersebut setidaknya memiliki relevansi yang sama dengan penontonnya.
Surga Yang Tak Dirindukan memang mampu menghadirkan suasana-suasana haru biru yang mampu menjadi bahan penguras air mata. Didukung dengan scoring yang grande meski (selalu) overused, hal ini diharapkan mampu mengoyak suasana hati penontonnya. Kuntz Agus masih mencari cara bagaimana mengemas sumbernya yang klise ini menjadi suatu tontonan yang berbeda. Meski tetap saja, Surga Yang Tak Dirindukan tak bisa jauh-jauh dari kesan tersebut.
Tak ada yang menonjol, dari departemen aktingnya. Fedi Nuril tetaplah menjadi Fedi Nuril yang selalu memerankan karakter yang sama di setiap filmnya. Raline Shah sedikit berkembang dan Laudya Cynthia Bella mampu memberikan performanya yang bak di atas panggung dongengnya. Surga Yang Tak Dirindukan bisa jadi adalah sebuah kisah dongeng. Penuh dengan berbagai macam hal yang menerbangkan harapan para wanita berhijab yang memimpikan seorang imam yang menuntunnya menuju surga.
Meski tak ada yang salah dengan arahan dari Kuntz Agus, Surga Yang Tak Dirindukan tetap tak memiliki sesuatu yang mencoba berbeda dalam konflik dan penggambaran karakternya. Kenaifan tersebut menjadi kendala dari film ini untuk mampu tampil menjadi sajian haru biru yang sebenarnya enak untuk diikuti. Dan seperti karakter Arini, wanita dengan atribut hijab yang sama dengan Arini akan menjadikan Surga Yang Tak Dirindukan sebagai sebuah dongeng yang menjadi harapan mereka.