SUPERNOVA : KSATRIA, PUTRI, DAN BINTANG JATUH (2014) REVIEW : Rekonstruksi Cinta dengan Teori Ilmiah


Satu persatu novel milik penulis terkenal, Dewi Lestari atau biasa dikenal dengan nama Dee memiliki kesempatan untuk diadaptasi ke sebuah film layar lebar. Perahu Kertas, Rectoverso, Madre, Filosofi Kopi yang sedang dalam proses syuting, dan Supernova yang berada di bawah naungan rumah produksi Soraya Films. Supernova sendiri memiliki 5 buku yang sudah dirilis dan Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah seri yang mengawali seri Supernova.

Rizal Mantovani kembali mengarahkan sebuah film atas komando dari Sunil Soraya. Setelah 5 Cm, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh menjadi tanggung jawab dari sutradara satu ini. Bukan sebuah tanggung jawab yang mudah karena seri Supernova memiliki jutaan penggemar di Indonesia. Banyak orang yang merasa Supernova adalah sebuah maha karya dari penulis Dewi Lestari dan sangat susah untuk diadaptasi menjadi sebuah film. 

Supernova adalah sebuah seri yang sangat rumit dan butuh penanganan khusus agar bisa menjadi satu sajian film yang bagus. Karena dewi Lestari atau Dee benar-benar bermain dengan diksi kata di bukunya. Untuk seri pertamanya, Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ini bukan sekedar roman klise tentang cinta segitiga melainkan juga tentang sebuah fiksi ilmiah yang rumit. Bagaimana sains bertemu dengan romansa cinta segitiga anak manusia yang bisa memiliki dimensi yang luas. 


Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh ini bermula ketika Reuben (Hamish Daud) dan Dimas (Arifin Putra) bertemu dan saling berkenalan. Mereka berdua adalah mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di kota Washington D.C., Amerika Serikat. Saat berada di sebuah pesta, Mereka yang sedang mabuk saling berjanji 10 tahun dari sekarang mereka harus menulis sebuah cerita yang bisa menggemparkan semua orang.

10 tahun kemudian, di sebuah apartemen, mereka menulis sebuah cerita tentang cinta dengan setting Pseudo Jakarta. Di mana Ferre (Herjunot Ali), seorang eksekutif muda yang sangat sukses yang jatuh cinta dengan seorang wartawati bernama Rana (Raline Shah). Sayangnya, Rana sudah memiliki suami bernama Arwin (Fedi Nuril) yang sudah dinikahi selama bertahun-tahun. Tetapi, Rana dan Ferre tetap menjalin hubungan diam-diam. Juga ada Diva (Paula Verhoeven), seorang model dengan kehidupan yang tak disangka-sangka. 


Plot cerita yang sebenarnya hanyalah sebuah cerita cinta klise. Tetapi, Supernova memiliki sesuatu yang berbeda untuk menerjemahkan kisah cinta ini. inilah sebuah rekonstruksi kisah cinta dengan dialog-dialog yang berisikan teori limiah yang sebenarnya akan membuat penontonnya kebingungan. Dan lagi-lagi, masih ada kesalahan persepsi tentang medium yang digunakan dalam bertutur di dalam sebuah film adaptasi dari novel, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh pun salah satunya. 

Film dan buku adalah sebuah medium yang berbeda untuk bertutur. Maka, untuk sebuah film adaptasi dari sebuah novel harus ada keseimbangan yang pas sehingga bisa melengkapi pengalaman membaca dan menonton sebuah film. Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh masih seperti sebuah film adaptasi mentah dari buku laris milik Dee. Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya selaku penulis naskah film, hanya menulis ulang kata-kata yang berasal dari novelnya. 


Perlu adanya tinjauan ulang agar dialog-dialog di dalam film ini terkesan lebih dinamis. Jika ingin dibuat lebih loyal dengan sumber aslinya, harus ada sebuah pengarahan yang kuat agar penceritaan dengan dialog yang berat ini bisa tampil prima dan diterima oleh segala penonton, bukan hanya sekedar penonton yang mengikuti novelnya saja. Karena segala dialognya lah yang mengatur segala emosi di filmnya dan penonton akan kesusahan beradaptasi dengan itu jika menggunakan bahasa-bahasa baku khas novel milik Dewi Lestari.

Ya, hal itu tergambar jelas lewat dialog-dialog yang diucapkan oleh para pemainnya. Raline Shah, Herjunot Ali, apalagi Paula Verhoeven masih hanya sekedar menghafal dialog yang sudah ditulis di atas kertas. Sehingga, ketika dialog itu dilantunkan belum ada emosi yang begitu kuat sehingga membuat penontonnnya simpati dengan karakter-karakter itu. Terkecuali untuk Dimas dan Reuben, Arifin Putra dan Hamish Daud bisa meyakinkan penontonnya bahwa mereka memang memiliki daya intelektual yang benar-benar tinggi. 


Rizal Mantovani pun masih bisa dibilang kurang untuk mengarahkan sebuah dengan kompleksitas yang luar biasa ini. Memang, dasar besar cerita film ini adalah kisah cinta segitiga dari Ferre, Rana, dan Arwin. Tetapi, Rizal malah lebih fokus untuk memperkuat kisah cintanya ketimbang beberapa hal yang berkaitan dengan film ini seperti sosok Diva, kritik-kritik sosial yang sebenarnya bisa menghasilkan sebuah satu kemagisan luar biasa untuk keseluruhan filmnya.

Meski begitu, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah sebuah presentasi yang buruk. Film ini masih sangat bisa dinikmati di luar segala kekurangannya yang seharusnya bisa dimaksimalkan lagi. Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh adalah sebuah film yang sudah memiliki dasar yang berbeda ketimbang film sejenis ini. Sehingga, film ini akan menjadi salah satu alternatif tontonan film bertemakan cinta milik sineas Indonesia. 


Kisah cinta di dalam film ini berhasil dipadu padankan dengan visual dan gambar-gambar indah yang dapat mewakili Pseudo Jakarta, kota rekayasa milik Dimas dan Reuben. Merepresentasikan sesuatu yang metaforik lewat gambar-gambar dan narasi sebagai pengantarnya. Bagaimana manusia yang memiliki sisi hitam dan putih juga dijelaskan lewat penggambaran yang unik. Tentu jika seorang penonton menyadari, pemilihan busana di dalam film ini pun ikut menjadi sebuah medium pesan itu disampaikan oleh sang sutradara.

Hitam dan Putih adalah sebuah warna yang saling berlawanan, layaknya sifat manusia yang terkadang masih menutupi hitamnya diri mereka. Karakter-karakter di film ini pun sebenarnya memiliki hal yang sama dengan perumpamaan hitam dan putih. Karakter Ferre, Rana, Diva, dan Arwin tampak luar adalah sosok luar biasa sukses, terkenal, dan bisa memiliki segalanya. Tetapi, ada yang harus mereka sembunyikan di luar sosok luar biasa mereka. Masih ada kekurangan yang tak bisa terelakkan bahwa mereka hanyalah manusia, ciptaan tuhan yang jauh dari kata sempurna.

Cerita ini pun ingin menyampaikan sosok hitam dan putih itu lewat rekonstruksi pikiran milik Dimas dan Reuben. Juga dengan pemilihan busana yang hanya sebagian besar dominan dengan warna Hitam dan Putih itu. Lihat saja bagaimana para karakter film ini saat menggunakan warna hitam dan putih di dalam filmnya. Warna hitam digunakan ketika ada yang harus ditutupi, ketika para karakter sedang dalam sisi melankolisnya. Warna putih digunakan ketika para karakter sedang dalam sosoknya yang dihormati, sedang dalam kisah mereka yang baik-baik saja.



Diperkuat dengan musik-musik  yang di-supervisor oleh Tiesto. Meski masih ada yang salah tempat dan terlalu sering digunakan, tetapi musik-musik ini berhasil memberikan nuansa lain yang juga merepresentasik jati diri premis unik milik Supenova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Sehingga, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah film yang dibuat secara sembarangan karena masih memiliki effort yang sangat luar biasa dalam segala komposisi teknisnya.  

Sebagai sebuah film adaptasi, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh masih memiliki problematika yang sama dengan film-film adaptasi kebanyakan. Memiliki beberapa kekurangan dan masih mentah dalam mengadaptasi sebuah buku best seller dari penulis Dewi Lestari. Meski begitu, Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh bukanlah film yang dibuat secara sembarangan karena production value, gambar, dan scoring dari film ini masih digarap secara serius.

Subscribe to receive free email updates: