OUIJA (2014) REVIEW : Cliches in It Lowest Point.
2014,
arul fittron,
arul movie review blog,
Halloween,
November,
Olivia Cooke,
Ouija,
Ouija Review,
Stiles White,
universal pictures
Film horror tahun ini memang tak terlalu banyak bermunculan. Dan untuk menyambut datangnya Halloween, film horor adalah salah satu film wajib yang ada. Setelah The Book of Life yang juga dirilis untuk menyambut pesta Halloween, juga adanya re-release film thriller legendaris, Saw, yang ditayangkan secara limited di bioskop US. Maka, Universal Picturestidak mau kalah dan merilis film terbarunya untuk menyambut pesta Halloween ini.
Universal Picturesmengadaptasi sebuah permainan produksi Hasbro yang diproduseri oleh Michael Bay. Ouija (dibaca : wi-ji), permainan pemanggil roh ini bisa dikatakan sebagai permainan Jelangkung ala barat. Stiles White ditunjuk sebagai sutradara film ini dengan screenplay yang juga ditulis olehnya bersama dengan Juliet Snowden. Ouija adalah karya debut dari Stiles White dalam mengarahkan sebuah filmnya sendiri.
Ouija (dibaca : wi-ji)menceritakan sepasang sahabat sejak kecil bernama Debbie (Shelley Hennig) dan Laine (Olivia Cooke) yang melakukan permainan Ouija sejak kecil. Tetapi, permainan itu hanya pura-pura dan tidak terjadi apa-apa. Hingga saat mereka sudah remaja, Debbie melakukan permainan yang sama dengan papan Ouija yang berbeda di rumahnya. Hal tersebut merenggut nyawa Debbie dan diserang oleh roh jahat di rumahnya.
Kematian Debbie membuat Laine terpukul dan sedih berkepanjangan. Laine menemukan papan Ouija milik Debbie di kamarnya. Melihat barang itu, Laine mencoba untuk memanggil arwah Debbie setidaknya untuk mengucapkan selamat tinggal. Tetapi, hal tersebut malah membuat petaka. Bersama teman-temannya, mereka memanggil arwah Debbie dengan papan Ouija tersebut. Tetapi, mereka malah menjerumuskan diri ke sebuah masalah, karena roh jahat mengejar mereka.
Flat as the board game they adapted
Tahun ini memang tak terlalu banyak film horor yang bermunculan. Annabelle adalah salah satu yang fenomenal dari film horor. Mampu membuat penonton berbondong-bondong pergi ke bioskop, rela antri, meskipun masih mengecewakan untuk menjadi sajian yang menarik. Tak lama, Universal pun memanfaatkan momen Halloween untuk merilis karya horor dari rumah produksinya. Ouija diharapkan menjadi salah satu yang fenomenal dari genre-nya.
Diburu penontonnya? mungkin iya. Karena bagaimana pun hasil akhirnya, film horor menjadi salah satu guilty pleasure para penonton. Mereka menolak untuk ditakut-takuti tetapi film horor tetap diburu. Ouija sepenuhnya bukanlah film horor yang benar-benar memberikan hal baru di dalam ceritanya. Hanya menjadi film horor generik pun dengan formula yang benar-benar been there-done that. Sayangnya, Ouija benar-benar tidak mengolah pola tersebut.
Stiles White sebagai sutradara, mengarahkan film perdananya ini benar-benar sangat minimalis. Selama 90 menit, Ouija adalah sajian yang melelahkan dari awal hingga akhir. Permainan pemanggil roh lewat medium papan ini tidak bisa memberikan atmosfirnya dengan baik. Malah, porsi drama persahabatan antara Debbie dan Laine memiliki peran yang dominan ketimbang cerita horornya sendiri. Segalanya terasa begitu bertele-tele hingga penonton akan mulai jengah dengan cara penuturan Stiles White di dalam film ini.
Penggunaan Jump scares di film ini memiliki porsinya yang berlebihan. Jump scares memang bukan sesuatu yang salah untuk digunakan di film horor. Toh, tak dapat dipungkiri bahwa Jump Scaresadalah formula yang berhasil untuk menakut-nakuti penontonnya. Meski efek yang dihasilkan hanya efek yang temporary atau terjadi di saat itu juga. Ouija pun menggunakan formula Jump Scares itu tetapi tidak diolah menjadi sajian yang segar. Penonton pun akhirnya bisa menebak di mana dan seperti apa kemunculan setan-setan di film ini untuk menakuti penontonnya.
Begitu pun dengan naskah yang ditulis oleh Stiles White dan juga Juliet Snowden. Mereka benar-benar menceritakan setiap adegan dengan asal-asalan. Formula horor yang klise mungkin juga tidak bisa dipungkiri. Tetapi, unsur klise di film ini benar-benar berada di titik yang paling jenuh dan paling rendah. Segalanya terjadi secara ajaib dan tiba-tiba meski ada tambahan plot twist di film ini, tetapi tidak mengubah bagaimana Ouija benar-benar tertatih dalam menjalankan plot ceritanya.
Ouija pun tidak mencoba untuk menarik minat penontonnya untuk meneruskan sisa-sisa durasinya hingga akhir, segalanya benar-benar pernah kita lihat. Hanya saja, permainan pemanggil roh dan medium-nya saja yang berbeda. Pun suasana menyeramkan itu benar-benar absen di film ini. Setidaknya, Annabelle masih bisa mengolah unsur klise di dalam filmnya menjadi beberapa yang segar untuk diikuti meskipun dengan akhir film yang menggelikan.
Ouija yang sudah mulai tertatih dalam menjalankan durasinya, pun semakin diperparah dengan performa para pemainnya. Aktor dan aktris di film ini pun masih terkesan kaku dalam menunjukkan ekspresi ketakutan di film ini. Mereka hanya mengandalkan paras cantik dan ganteng mereka yang setidaknya mengampuni kemampuan akting mereka yang masih perlu dilatih dan dipoles lagi.
Lantas apa beda Ouija dengan film horor indonesia? Hanya saja minus sensualitas yang diekspos berlebih oleh sineas tanah air. Jika anda menganggap film horor Indonesia tidak layak tonton, sebenarnya Ouija pun memiliki hal yang benar-benar serupa dengan film-film horor Indonesia. Formula Ouija pun sebenarnya sama dengan film-film horor indonesia yang ada. Hanya saja, penonton akan lebih percaya dengan film horor Hollywood daripada dalam negeri, sejelek apa pun itu.
Ouija adalah aji mumpung Universal Pictures untuk mengambil untung sekaligus untuk meramaikan perayaan Halloween tahun ini. Diadaptasi dari sebuah papan permainan, Ouija menjadi sajian yang datar layaknya papan permainan Hasbro ini. Stiles White masih mengarahkan Ouija dengan sangat minimalis tanpa mengolah unsur klise di dalam film ini menjadi sajian yang segar. Ouija is definitely be one of the worst of this year.