12 YEARS A SLAVE (2013) REVIEW : 12 YEARS NORTHUP’S MISERY
12 Years A Slave,
12 Years A Slave Review,
2014,
4 stars,
arul fittron,
arul movie review blog,
benedict cumberbatch,
Chiwetel Ejiofor,
february,
Lupita Nyong'o,
Michael Fassbender,
Steve McQueen
Perbudakan, kulit hitam, rasis, menjadi tema yang sentimentil bagi negara Amerika. Dimana, Amerika memang memiliki masalah dalam penyamaan derajat di masyarakatnya. Meskipun, masyarakat berkulit hitam sudah memiliki satu undang-undang yang menyatakan bahwa derajat mereka sama. Tetapi, anggapan mereka dengan masyrakat dengan kulit berwarna hitam tetap mendapat satu pandangan cukup sinis.
Ini pun menjadi satu tema yang sangat sering diangkat dalam film milik sineas Hollywood. Terutama, dalam film-film berkaliber Oscar. Tahun lalu, Django Unchained dan Lincoln mengangkat tema sama tentang kulit hitam. Tetapi, tentunya dengan konsentrasi yang beda-beda. Django Unchained, lebih menilik tentang perbudakan kulit hitam dan konflik pribadi milik sang karakter utama. Sedangkan, Lincoln lebih mengangkat perjalanan sang presiden Amerika, Lincoln, dalam memperjuangkan undang-undang tentang kesamaan derajat.Maka tahun ini, Steve McQueen di film terbarunya mengangkat cerita Perbudakan, kulit hitam, dan sebagainya dalam film 12 Years A Slave. Film ini pun menceritakan sosok Solomon Northup (Chiwetel Ejiofor), seorang pemain musik berkulit hitam yang bebas tiba-tiba disekap dalam ruang kecil yang membuat dirinya terjebak dalam transaksi perbudakan. Solomon Northup pun diganti identitasnya dan membuat dirinya di beli oleh seseorang bernama Ford (Benedict Cumberbatch).
Disaat dirinya bekerja dengan Ford, dia mengalami masalah dengan seseorang dan akhirnya Solomon harus dijual kepada Edwin Epps (Michael Fassbender), seorang yang terkenal sebagai orang yang jahat dengan budak-budak berkulit hitam miliknya. Disana, dia bertemu dengan Patsey (Lupita Nyong’o), budak kulit hitam wanita yang ternyata sering dilecehkan oleh Epps. Solomon pun mencari segala bantuan agar dirinya bisa terlepas menjadi budak karena dirinya adalah seorang kulit hitam yang bebas.
2 Hours full of pain and misery
Steve McQueen, salah satu sutradara yang harus sudah mulai diperhitungkan di kancah perfilman Hollywood. Mungkin karya miliknya masih sangat sedikit, tetapi bukan berarti film-film miliknya bisa dilewatkan begitu saja. Dua karya miliknya Hunger dan Shame disorot oleh para kritikus dengan mendapatkan banyak sekali pujian. Maka, tak salah jika 12 Years A Slave ini juga akan mengundang banyak kritikus mengharapkan sesuatu yang lebih meskipun mendapatkan tema yang formulaic.
12 Years A Slave adalah film ketiga dari sutradara Steve McQueen dan diproduseri oleh salah satu artis Hollywood ternama yaitu Brad Pitt. 12 Years A Slave sendiri diangkat dari buku berjudul sama dari biografi seorang bernama Solomon Northup yang juga menjadi karakter utama di film ini. Film ini benar-benar bisa menggambarkan bagaimana perjuangan Solomon Northup saat dirinya menjadi seorang budak berkulit hitam yang derajatnya benar-benar direndahkan oleh pribumi berkulit putih.
Bagaimana Steve McQueen berhasil mempresentasikan adegan demi adegan di dalam film ini begitu menyayat hati penontonnya. 130 menit yang berhasil menangkap dengan indah dan bagus penderitaan serta rasa sakit yang berhasil disajikan langsung kepada penontonnya. Rasa pedih itu begitu dekat dengan penontonnya sehingga penonton akan bisa langsung merasakan betapa perihnya kehidupan para budak yang selalu dipaksa untuk bekerja keras tanpa ampun. Serta, seberapa rendahnya derajat para budak berkulit hitam sehingga mereka seperti tidak anggap seperti seorang manusia.
Tetapi, bisa dibilang 12 Years A Slave memiliki narasi yang lemah dibanding dengan Shame. Bagaimana Steve McQueen sepertinya masih kurang bisa menuturkan setiap kisah biografi Solomon Northup di filmnya dengan penuturan yang baik. Alhasil, banyak sekali cerita sana-sini yang masih kurang bisa memberikan nyawa. Ya, Steve McQueen memang ahli dalam menyajikan betapa pedih karakter-karakter di dalam film terbarunya ini. Tetapi, konflik utama di film ini masih kurang diberi penyokong lebih agar adegan-adegan yang mengiris-iris perasaan itu bisa diimbangi dengan cerita yang baik.
Bagaimana cerita selama 12 tahun itu tidak memiliki kronologis yang begitu baik sehingga mungkin beberapa orang akan mempertanyakan apa benar Solomon Northup berada dalam kehidupan perbudakan selama 12 Tahun. Penyelesaian film ini pun terkesan datang dengan mudahnya. Tidak ada satu momentum puncak yang menandai bahwa kehidupan penuh liku dan berbatu Solomon Northup dalam perbudakan akan segera berakhir.
12 Years A Slave mungkin menjadi karya terlemah milik Sutradara Steve McQueen. Tetapi, tak lantas hal itu membuat 12 Years A Slave menjadi karya yang buruk. Bukan. 12 Years A Slave adalah salah satu presentasi yang sangat baik di tahun ini. Karena masih banyak hal yang membuat film ini menjadi salah satu film unggulan tahun 2013. Sinematografi apik yang ditawarkan oleh film ini dengan design and set value yang sudah tidak bisa diragukan lagi. Bukan berarti film tentang perbudakan tidak bisa memberikan gambar-gambar indah, 12 Years A Slave banyak sekali memberikan poin tersebut di dalam filmnya.
Belum lagi masih banyak jajaran aktor dan aktris di film ini yang bermain begitu baik di filmnya. Chiwetel Eijofor berperan sebagai Solomon Northup yang benar-benar mampu memberikan performa gemilangnya. Satu scene stealer jatuh pada Lupita Nyong’o yang berperan dengan penuh emosional dan mampu mengiris hati penontonnya. Pun begitu, dengan aktor aktris lainnya seperti Michael Fassbender ataupun Benedict Cumberbatch yang tak usah diragukan lagi performa mereka.
Overall, 12 Years A Slave adalah salah satu film unggulan di tahun 2013 lalu yang mampu mengiris hati penontonnya berkat pengarahan Steve McQueen yang baik. Meskipun masih ada beberapa minor dalam menceritakan konflik utama untuk film ini yang membuat film ini menjadi karya terlemah bagi sutradara Steve McQueen. Tetapi, tak lantas film ini adalah film buruk. 12 Years A Slave masih mampu diperhitungkan di berbagai ajang penghargaan bergengsi.